Berapa besar kemungkinanku menemukanmu berdiri di peron seberang?
Lautan manusia yang hendak pulang ke rumah—ke kasur empuk mereka, ke anak-anak dan istri atau suami mereka, ke anjing dan kucing peliharaan yang menghampiri pada saat mereka masuk melalui pintu, ke tempat dimana mereka bisa bersantai dan merasa aman—mendorong dan menghanyutkanku yang sudah tidak memiliki tenaga untuk berdiri tegak dan kokoh pada dua kakiku. Kereta di sore hari selalu seperti ini, dan aku sudah merasakan berjuang di antara orang-orang yang juga sama kelelahannya sepulang dari kerja atau sekolah selama dua tahun terakhir, semenjak aku berkuliah. Namun entah mengapa hari itu aku merasa lebih lelah daripada biasanya. Entah karena tugas yang kian menumpuk, atau karena perutku yang memang masih kosong sedari pagi.
Pintu berdesis pelan sebelum terbuka dan beberapa penumpang turun di stasiun tersebut, disusul naiknya beberapa penumpang lagi. Aku ingin sekali bersandar di samping pintu namun spot favoritku itu sudah terisi penuh oleh orang lain, seorang wanita yang mengenakan sweater hitam kebesaran, rambutnya dikunncir kuda dengan sangat tinggi dan earphone menempel di kedua telinganya, matanya terpejam sambil kedua lengan memeluk tas ranselnya dengan erat. Di sisi lain seorang bapak-bapak yang terlihat seumuran dengan ayahku bersandar sembari menatap layar ponselnya sambil sesekali mengerutkan dahinya, mungkin ia melupakan kacamata bacanya sehingga tulisan di ponsel itu tak bisa ia baca.
Aku menghembuskan napas pasrah ketika seorang wanita paruh baya naik masuk dan tak sengaja mendorongku dengan tas pundaknya yang besar dan penuh, entah apa isinya. Semakin banyak orang lagi yang masuk sehingga aku semakin terdorong kesana kemari. Lalu pintu kereta menutup dan kereta bergerak, menyentak, membuatku yang sedari tadi belum siap akan sentakan itu terhuyung ke belakang. Dan tepat saat itu sebuah tangan menangkap lenganku dan aku bisa kembali berdiri tegak. Aku menoleh namun sang pemilik tangan tak terlihat karena ia hanya mengulurkan tangannya sedangkan wajah dan tubuhnya terhalang oleh orang lain. Tetapi yang membuatku heran adalah tangan itu tak segera ia lepaskan dari lenganku, namun meluncur turun ke telapak tanganku dan menggenggamnya dengan erat, sebelum akhirnya menarikku dengan cepat. Tubuhku yang lemas tentu saja dengan mudah ikut tertarik tanpa perlawanan, walaupun harus menabrak melewati beberapa orang. Aku membuka mulut hendak protes karena siapa yang tidak kaget dan takut ketika tangannya ditarik oleh orang asing yang tidak kau kenal? Namun sepasang bola mata itu dengan lembut menatapku dan pundak kami beradu. Aku menganga dan tanpa kesulitan nama itu meluncur dengan pelan.
“Alca?”
Lelaki itu tertawa renyah dan aku bersumpah seketika energiku seakan terisi penuh kembali. Alca menaikkan satu alisnya sambil bertanya.
“Ada apa denganmu?” Ia menggelengkan kepalanya diiringi tawa. “Kalau saja tak ada aku, kau sudah pasti terjatuh tadi.”
Aku tersenyum kecil. “Tak apa-apa.”
Sudah pasti aku akan berharap kereta ini tak sampai di stasiun tujuan dengan cepat. Kalau bisa terus saja berputar-putar sepanjang malam. Apalagi ada genggaman hangatnya yang memberikanku rasa aman yang sedari tadi tak ia lepaskan.
Baru sebulan terakhir ini aku mengenalnya namun terasa layaknya separuh hidupku. Awal pertemuanku dengan Alca memang lumayan tidak enak untuk diingat. Hari itu kelas siang dan soreku dibatalkan, sehingga semua siswa dapat pulang lebih cepat. Entah mengapa aku merasakan kantuk yang sangat hebat. Ditambah lagi teriknya sinar matahari yang membuat kepala pusing. Suasana stasiun siang hari itu lengang, tidak banyak penumpang yang hendak naik.
Sambil berusaha menahan kantuk seorang diri aku berdiri di penyeberangan menunggu kereta lewat untuk pergi ke peron seberang. Suara klakson kereta yang menggelegar terdengar dan entah mengapa pikiranku kosong, tanpa sadar aku melangkahkan kaki ke depan hendak menyeberang. Ketika klakson terdengar lagi, yang kali ini sangat dekat dengan telingaku seakan berada tepat di samping, aku terperanjat dan sebelum aku benar-benar sadar dengan apa yang terjadi, seseorang menarikku ke belakang dengan sangat cepat. Aku hampir tersandung jika orang itu tidak menahanku. Di depan kereta yang melaju dengan cepat, dengan hembusan anginnya yang menerpa tubuhku, aku mengerjapkan mata tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi—aku hendak berjalan ke depan kereta yang sedang melaju!
“Kau tidak apa-apa?” Suara yang penuh kekhawatiran itu terdengar lembut di telingaku.
Aku menoleh dan melihat orang yang sudah menyelamatkan nyawaku, seorang lelaki yang sekarang sedang menatapku cemas. Ia mengenakan kemeja lengan panjang biru laut, yang lengannya digulung sampai siku. Celana warna khaki, sepatu converse hitam, dan sebuah ransel yang tersampir di pundak kanannya.
“A-ah terimakasih. Dan tidak, aku tidak baik-baik saja.” Jantungku mencelus dan tubuhku terasa lemas. Mana mungkin aku baik-baik saja setelah hampir berjalan ke arah kereta.
“Mungkin kau perlu duduk sebentar.” Lelaki itu berkata pelan sambil menuntunku ke bangku.
Tanganku gemetar ketika mengeluarkan botol air dari dalam tas. Jemariku terasa mati rasa tanpa tenaga sedikit pun saat mencoba membuka tutupnya namun tak juga berhasil. Tiba-tiba lelaki tadi mengulurkan tangannya dan mengambil botolku, ia memutar tutupnya dengan mudah dan memberikannya kembali padaku. Aku berterima kasih, namun suaraku seakan hilang dan terdengar seperti tikus kejepit. Lelaki itu tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya walaupun kekhawatiran masih terlukis jelas di sorot matanya.
Bagaimanapun juga sisa hari itu terasa sedikit lebih mudah untuk dilewati karena ada lelaki yang menyelamatkanku yang kemudian kuketahui bernama Alca. Kami berakhir menaiki kereta yang sama, dan Alca tak henti-hentinya memastikan aku baik-baik saja. Ia bahkan ikut turun dari kereta di stasiun tujuanku walaupun sebenarnya ia tak turun disitu. Semenjak hari itu aku sering kali bertemu Alca di kereta, selalu di waktu yang sama, selalu di gerbong yang sama, gerbong nomor 8.
Aku pernah bertanya padanya sekali, mengapa ia selalu naik di gerbong nomor 8. Alca hanya tertawa kecil sambil menatap ke luar jendela, ke gedung-gedung pencakar langit yang bergerak dan melesat cepat.
“Bagaimana kelasmu hari ini?” pertanyaan Alca membuyarkan lamunan tentang pertemuan pertama kami.
Aku memiringkan kepala ke satu sisi. “Yah, seperti biasa, membosankan, tapi oke oke saja. Bagaimana denganmu?”
“Kurang lebih sama. Membosankan.” Ia tertawa.
“Kau bilang kau suka menggambar. Bagaimana mungkin mata kuliahmu terasa membosankan? Apakah itu terlalu mudah?” Aku menyeringai menggodanya.
Alca adalah mahasiswa fakultas seni rupa dan desain. Ia berkata menggambar adalah hobi dan seluruh hidupnya. Maka dari itu ia memutuskan untuk masuk ke fakultas seni. Namun kabarnya kedua orang tuanya menolak mentah-mentah pilihan putra semata wayangnya itu. Mereka lebih menginginkan anaknya masuk jurusan bisnis dan meneruskan bisnis keluarganya. Sesuatu yang Alca tidak pernah inginkan. Pilihan itu membuatnya terusir dari rumah dan mengharuskannya hidup mandiri. Kalau bukan karena beasiswa yang ia dapatkan, mungkin sekarang Alca tak dapat melanjutkan kuliah karena hasil dari kerja paruh waktu yang menghabiskan semua waktu luang dan akhir pekannya tak akan pernah cukup untuk membiayai pendidikan sarjananya.
Stasiun tujuanku terdengar di pengeras suara. Aku menoleh ke arah Alca, menatapnya terakhir kali sebelum aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku harus turun. Stasiun tujuannya memang masih empat stasiun setelahku.
“Hati-hati. Perhatikan langkahmu karena takkan ada aku untuk menangkapmu jika kau tersandung.” Alca tersenyum usil.
Aku menatapnya sinis dengan bercanda, namun segera tergantikan dengan sebuah senyuman. “Kau juga.”
Kereta melambatkan lajunya dan aku dengan cukup susah payah melewati orang-orang untuk sampai ke depan pintu bersama Alca yang mengikutiku. Pintu berdesis pelan, terbuka, dan aku melompat turun. Kulemparkan pandangan ke Alca yang sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku tertawa kecil, masih berdiri di sana sampai pintu menutup dan kereta kembali melaju dengan sepasang bola mata itu yang masih dengan teduhnya memandangku.
//
Salah satu alasan mengapa aku tak bisa bertemu Alca hari itu juga karena Val hanya ingin menaiki gerbong wanita. Yang sudah pasti Alca takkan berada di sana. Namun rupanya aku memang membutuhkan pembicaraan ini. Tugas kelompok yang harus dikumpulkan dalam 4 hari terdiri dari melakukan sedikit penelitian dan membuat makalah. Sebagai anggota yang sedikit lebih memiliki jiwa kepemimpinan, aku dan Val memutuskan untuk membicarakan pembagian tugas untuk kelompok kami dalam perjalanan pulang, untung saja karena kami sama-sama menaiki kereta walaupun Val harus turun lebih dulu. Selain itu dengan beruntungnya kami mendapatkan tempat duduk di gerbong yang biasanya penuh ini, sehingga aku bisa lebih beristirahat sejenak.
“Baiklah Sha, kita lanjutkan di grup chat dengan anggota yang lain nanti malam.” Kata Val sebelum ia turun.
“Oke.” Aku mengangguk sambil menatap punggungnya yang menghilang di keramaian.
Seorang wanita mengambil tempat duduk kosong di sampingku yang tadinya diduduki Val. Aku memperbaiki posisi duduk agar bisa menyenderkan kepala di kaca jendela. Rasa kantuk begitu cepat menghampiriku dan dengan tanpa perlawanan aku memejamkan mata. Mungkin tidur sebentar bukan masalah kan? Lagi pula stasiun tujuanku masih jauh.
Namun aku salah. Mendapatkan tempat duduk kosong mungkin adalah suatu hal paling tidak beruntung hari itu. Kepalaku mengayun pelan dan aku tersentak bangun saat pengeras suara pengumuman terdengar menyebutkan nama stasiun yang sama sekali bukan stasiun tujuanku. Aku mengerjapkan mata dengan cepat dan menoleh ke luar jendela. Kereta kian memasuki peron, barisan penumpang yang bersiap melompat masuk ke dalam gerbong terlihat seperti sudah mengambil ancang-ancang. Mataku menyipit saat membaca papan tulisan nama stasiun, aku harus memastikan bahwa aku tidak salah mendengar. Ya benar saja, aku kelewatan stasiun tujuanku. Ini adalah stasiun dimana Alca seharusnya turun. Tanpa pikir panjang aku segera berdiri dan melangkah menuju pintu yang sudah terbuka. Dengan langkah lebar aku melompat turun. Sambil menengok ke kanan dan kiri aku melangkah ke pinggir agar tidak berada di jalannya lautan manusia yang juga turun. Mataku menatap setiap orang yang baru saja turun dan lewat di depanku, berharap menemukan sosok itu. Namun ia tak kunjung nampak padahal gerbong kereta paling belakang sudah pergi meninggalkan stasiun.
Aku menatap ujung peron, mungkin saja ia turun di ujung sana dan masih melangkah dengan pelan. Namun tetap saja Alca tak ada dimana-mana. Aku mulai berjalan menuju bagian dalam stasiun dengan gelisah. Apa mungkin aku tak melihatnya ketika ia berjalan? Aku tahu persis Alca sudah pasti satu kereta denganku, karena itu yang selalu terjadi selama ini. Waktu pulang kami serupa. Kepalaku kian menoleh ke segala arah dengan mataku yang berharap menemukan sosoknya. Aku berharap dapat bertemu dengannya agar kelebihan stasiun ini tidak begitu sia-sia.
Lonceng peringatan tanda kereta melintas terdengar dan satu kereta memasuki stasiun. Aku berlari ke depannya, mungkin Alca menaiki kereta selanjutnya. Rombongan penumpang yang turun menabrak pundakku saat mereka lewat, tak sedikit orang yang menggerutu pelan. Sesuatu seperti apa orang ini gila? berdiri di tengah jalan, menghalangi saja! Namun aku tidak peduli dan tetap berdiri di sana, masih berharap Alca muncul di antara gelombang orang-orang itu dengan senyum khasnya yang memperlihatkan lesung pipi tersembunyinya yang selalu membuatku ingin menusukkan jari telunjuk ke lengkungan nan dalam itu, ia akan melambaikan tangan ke arahku, mungkin sedikit terkejut saat mendapatiku berada di sana, lalu kami akan duduk sebentar di bangku stasiun dan aku akan dengan semangat menceritakan padanya mengapa aku bisa berakhir berada di stasiunnya. Tetapi lagi-lagi ia tak ada. Semua penumpang sudah turun dan pergi.
Aku menghela napas kecewa dan melangkah ke arah tembok. Sesuatu menyita perhatianku ketika sebuah selebaran kertas tertempel di sana, bagian bawahnya melambai-lambai tertiup angin. Warna putihnya yang memudar dan kekuningan, pinggirannya yang sedikit robek menunjukkan bahwa kertas itu sudah cukup lama menempel di sana. Tanganku menggapai ujung kertas yang bergerak, menekannya ke tembok untuk membaca apa yang tertera di sana. Apa yang kulihat selanjutnya membuat mataku membulat lebar dan jantungku menderu kencang memompa darah dengan cepat, membuat kepalaku sakit. Sebuah foto ada di sana dengan judul Turut Berduka Cita. Aku menelan ludah dengan susah payah. Foto lelaki yang ada di kertas itu tidak salah lagi adalah seseorang yang kukenal betul walaupun kertasnya yang lecek dan warnanya pudar. Senyum manis khasnya, lesung pipinya dan sorot teduh matanya. Napasku tercekat, kepalaku terasa berputar, mataku panas dan pandanganku mulai kabur dengan air mata yang kian menumpuk, kedua lututku lemas membuatku memegang tembok berupaya menahan tubuhku yang terasa akan tumbang dalam waktu dekat.
Nama yang tertulis di bawah foto itu memperjelas semuanya, seperti air bah yang mengguyur bendungan air mataku yang sudah penuh, semua airnya tumpah keluar. Mengalir deras tanpa henti hingga masuk ke sela-sela hatiku yang membuatnya terasa nyeri.
A L C A
Ini tidak mungkin terjadi kan? Ini pasti hanya mimpi? Aku mencabut kertas itu dengan kasar dan menatapnya lama. Berharap foto, nama dan semua huruf itu bergerak dan berubah menjadi rangkaian kata lain. Namun tidak terjadi apa-apa selain air mataku yang jatuh membuat pola basah di kertas yang sudah lusuh itu. Aku menggeleng menolak percaya, di bawah nama itu tertulis tanggal yang sama seperti hari ini namun tepat satu bulan yang lalu. Dengan cepat aku berlari ke seorang petugas yang berdiri di dekat loket hendak bertanya.
“M-maaf pak, saya ingin tahu apa arti dari kertas ini?” Suaraku parau dan nyaris tak terdengar.
Petugas itu melirik sekilas ke kertas yang hampir kuremas seutuhnya sebelum berkata. “Oh, itu adalah bocah laki-laki yang tewas tertabrak kereta bulan lalu. Teman-temannya menempelkan kertas itu sebagai pengingat. Ah mengapa petugas kebersihan bisa lupa mencopot dan membersihkannya.”
Jemariku yang mengepal gemetar hebat saat aku membenamkan kuku ke telapak tangan, mengabaikan sakitnya. “T-tewas?”
“Ya, ia tiba-tiba berlari ke arah kereta yang sedang melaju.” Petugas itu mengerutkan dahi seraya berusaha mengingat. “Dengan sengaja.”
“T-tidak mungkin.” Aku menggeleng lalu berlari menjauh meninggalkan petugas yang sekarang kebingungan.
Barisan penumpang berbaris di sepanjang peron. Aku berdiri di sana berusaha menahan air mata yang kian menetes walaupun sudah kuperintahkan agar berhenti. Kertas selebaran itu sudah sepenuhnya teremas menjadi bola di dalam kepalanku. Suara lonceng kereta berbunyi diikuti kereta yang memasuki stasiun dan berhenti di peron seberang. Pintunya terbuka, seorang wanita paruh baya dan anak muda masuk ke dalam gerbong. Gerbong nomor 8. Pintu masih belum menutup dan aku melihatnya jelas, sejelas ingatanku sebulan terakhir ini. Berdiri di sana dengan kedua tangan di dalam saku, mengayunkan tubuh pelan ke depan dan ke belakang, dengan ransel hitam yang tersampir di bahu kanan, senyum manis khasnya, lesung pipinya, sorot teduh matanya yang selalu saja sama—hangat dan penuh kebaikan. Aku terbelalak dan hendak berlari ke penyeberangan namun ia mengangkat satu tangan sambil tersenyum mengisyaratkan agar aku berhenti. Alca terlihat sehat dan nyata, seolah tak pernah terjadi apa-apa padanya. Tak kupedulikan lagi air mata yang menetes di pipi, aku berkata pelan walaupun tahu ia tak akan mendengarnya.
“Kenapa?”
Untuk seperdetik kukira kulihat senyumannya pudar namun kemudian ia tertawa kecil. Aku tetap menatapnya tanpa mengedipkan mata, takut jika saja tiba-tiba ia menghilang. Kedua matanya membentuk lengkungan bulan sabit dan lesung di pipinya menjadi semakin dalam. Bagaimana mungkin ia masih bisa tertawa seperti itu di saat aku merasa sangat merana? Ia kembali terdiam, melemparkan senyum padaku. Bibirnya terbuka dan seakan ia berada tepat di hadapanku, suaranya bergema dengan lembut dan jelas memenuhi setiap rongga tubuhku, bergetar seirama detak jantungku dan terulang-ulang di bagian terdalam otakku.
“Terima kasih, Kasha.”
Pintu berdesis pelan dan menutup namun Alca tak naik ke dalam gerbong tersebut, ia tetap berdiri di tempatnya. Melalui jendela, aku menatap wajah Alca yang masih dihiasi senyuman ketika kereta melaju pelan, semakin cepat lajunya aku tak lagi dapat melihat. Dan ketika kereta sudah sepenuhnya pergi meninggalkan stasiun, sudah tak ada seorang pun yang berdiri di seberang peron.
Esok hari, berapa besar kemungkinanku menemukanmu berdiri di peron seberang?
Lautan manusia yang hendak pulang ke rumah—ke kasur empuk mereka, ke anak-anak dan istri atau suami mereka, ke anjing dan kucing peliharaan yang menghampiri pada saat mereka masuk melalui pintu, ke tempat dimana mereka bisa bersantai dan merasa aman—mendorong dan menghanyutkanku yang sudah tidak memiliki tenaga untuk berdiri tegak dan kokoh pada dua kakiku. Kereta di sore hari selalu seperti ini, dan aku sudah merasakan berjuang di antara orang-orang yang juga sama kelelahannya sepulang dari kerja atau sekolah selama dua tahun terakhir, semenjak aku berkuliah. Namun entah mengapa hari itu aku merasa lebih lelah daripada biasanya. Entah karena tugas yang kian menumpuk, atau karena perutku yang memang masih kosong sedari pagi.
Pintu berdesis pelan sebelum terbuka dan beberapa penumpang turun di stasiun tersebut, disusul naiknya beberapa penumpang lagi. Aku ingin sekali bersandar di samping pintu namun spot favoritku itu sudah terisi penuh oleh orang lain, seorang wanita yang mengenakan sweater hitam kebesaran, rambutnya dikunncir kuda dengan sangat tinggi dan earphone menempel di kedua telinganya, matanya terpejam sambil kedua lengan memeluk tas ranselnya dengan erat. Di sisi lain seorang bapak-bapak yang terlihat seumuran dengan ayahku bersandar sembari menatap layar ponselnya sambil sesekali mengerutkan dahinya, mungkin ia melupakan kacamata bacanya sehingga tulisan di ponsel itu tak bisa ia baca.
Aku menghembuskan napas pasrah ketika seorang wanita paruh baya naik masuk dan tak sengaja mendorongku dengan tas pundaknya yang besar dan penuh, entah apa isinya. Semakin banyak orang lagi yang masuk sehingga aku semakin terdorong kesana kemari. Lalu pintu kereta menutup dan kereta bergerak, menyentak, membuatku yang sedari tadi belum siap akan sentakan itu terhuyung ke belakang. Dan tepat saat itu sebuah tangan menangkap lenganku dan aku bisa kembali berdiri tegak. Aku menoleh namun sang pemilik tangan tak terlihat karena ia hanya mengulurkan tangannya sedangkan wajah dan tubuhnya terhalang oleh orang lain. Tetapi yang membuatku heran adalah tangan itu tak segera ia lepaskan dari lenganku, namun meluncur turun ke telapak tanganku dan menggenggamnya dengan erat, sebelum akhirnya menarikku dengan cepat. Tubuhku yang lemas tentu saja dengan mudah ikut tertarik tanpa perlawanan, walaupun harus menabrak melewati beberapa orang. Aku membuka mulut hendak protes karena siapa yang tidak kaget dan takut ketika tangannya ditarik oleh orang asing yang tidak kau kenal? Namun sepasang bola mata itu dengan lembut menatapku dan pundak kami beradu. Aku menganga dan tanpa kesulitan nama itu meluncur dengan pelan.
“Alca?”
Lelaki itu tertawa renyah dan aku bersumpah seketika energiku seakan terisi penuh kembali. Alca menaikkan satu alisnya sambil bertanya.
“Ada apa denganmu?” Ia menggelengkan kepalanya diiringi tawa. “Kalau saja tak ada aku, kau sudah pasti terjatuh tadi.”
Aku tersenyum kecil. “Tak apa-apa.”
Sudah pasti aku akan berharap kereta ini tak sampai di stasiun tujuan dengan cepat. Kalau bisa terus saja berputar-putar sepanjang malam. Apalagi ada genggaman hangatnya yang memberikanku rasa aman yang sedari tadi tak ia lepaskan.
Baru sebulan terakhir ini aku mengenalnya namun terasa layaknya separuh hidupku. Awal pertemuanku dengan Alca memang lumayan tidak enak untuk diingat. Hari itu kelas siang dan soreku dibatalkan, sehingga semua siswa dapat pulang lebih cepat. Entah mengapa aku merasakan kantuk yang sangat hebat. Ditambah lagi teriknya sinar matahari yang membuat kepala pusing. Suasana stasiun siang hari itu lengang, tidak banyak penumpang yang hendak naik.
Sambil berusaha menahan kantuk seorang diri aku berdiri di penyeberangan menunggu kereta lewat untuk pergi ke peron seberang. Suara klakson kereta yang menggelegar terdengar dan entah mengapa pikiranku kosong, tanpa sadar aku melangkahkan kaki ke depan hendak menyeberang. Ketika klakson terdengar lagi, yang kali ini sangat dekat dengan telingaku seakan berada tepat di samping, aku terperanjat dan sebelum aku benar-benar sadar dengan apa yang terjadi, seseorang menarikku ke belakang dengan sangat cepat. Aku hampir tersandung jika orang itu tidak menahanku. Di depan kereta yang melaju dengan cepat, dengan hembusan anginnya yang menerpa tubuhku, aku mengerjapkan mata tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi—aku hendak berjalan ke depan kereta yang sedang melaju!
“Kau tidak apa-apa?” Suara yang penuh kekhawatiran itu terdengar lembut di telingaku.
Aku menoleh dan melihat orang yang sudah menyelamatkan nyawaku, seorang lelaki yang sekarang sedang menatapku cemas. Ia mengenakan kemeja lengan panjang biru laut, yang lengannya digulung sampai siku. Celana warna khaki, sepatu converse hitam, dan sebuah ransel yang tersampir di pundak kanannya.
“A-ah terimakasih. Dan tidak, aku tidak baik-baik saja.” Jantungku mencelus dan tubuhku terasa lemas. Mana mungkin aku baik-baik saja setelah hampir berjalan ke arah kereta.
“Mungkin kau perlu duduk sebentar.” Lelaki itu berkata pelan sambil menuntunku ke bangku.
Tanganku gemetar ketika mengeluarkan botol air dari dalam tas. Jemariku terasa mati rasa tanpa tenaga sedikit pun saat mencoba membuka tutupnya namun tak juga berhasil. Tiba-tiba lelaki tadi mengulurkan tangannya dan mengambil botolku, ia memutar tutupnya dengan mudah dan memberikannya kembali padaku. Aku berterima kasih, namun suaraku seakan hilang dan terdengar seperti tikus kejepit. Lelaki itu tersenyum simpul memperlihatkan lesung pipinya walaupun kekhawatiran masih terlukis jelas di sorot matanya.
Bagaimanapun juga sisa hari itu terasa sedikit lebih mudah untuk dilewati karena ada lelaki yang menyelamatkanku yang kemudian kuketahui bernama Alca. Kami berakhir menaiki kereta yang sama, dan Alca tak henti-hentinya memastikan aku baik-baik saja. Ia bahkan ikut turun dari kereta di stasiun tujuanku walaupun sebenarnya ia tak turun disitu. Semenjak hari itu aku sering kali bertemu Alca di kereta, selalu di waktu yang sama, selalu di gerbong yang sama, gerbong nomor 8.
Aku pernah bertanya padanya sekali, mengapa ia selalu naik di gerbong nomor 8. Alca hanya tertawa kecil sambil menatap ke luar jendela, ke gedung-gedung pencakar langit yang bergerak dan melesat cepat.
“Bagaimana kelasmu hari ini?” pertanyaan Alca membuyarkan lamunan tentang pertemuan pertama kami.
Aku memiringkan kepala ke satu sisi. “Yah, seperti biasa, membosankan, tapi oke oke saja. Bagaimana denganmu?”
“Kurang lebih sama. Membosankan.” Ia tertawa.
“Kau bilang kau suka menggambar. Bagaimana mungkin mata kuliahmu terasa membosankan? Apakah itu terlalu mudah?” Aku menyeringai menggodanya.
Alca adalah mahasiswa fakultas seni rupa dan desain. Ia berkata menggambar adalah hobi dan seluruh hidupnya. Maka dari itu ia memutuskan untuk masuk ke fakultas seni. Namun kabarnya kedua orang tuanya menolak mentah-mentah pilihan putra semata wayangnya itu. Mereka lebih menginginkan anaknya masuk jurusan bisnis dan meneruskan bisnis keluarganya. Sesuatu yang Alca tidak pernah inginkan. Pilihan itu membuatnya terusir dari rumah dan mengharuskannya hidup mandiri. Kalau bukan karena beasiswa yang ia dapatkan, mungkin sekarang Alca tak dapat melanjutkan kuliah karena hasil dari kerja paruh waktu yang menghabiskan semua waktu luang dan akhir pekannya tak akan pernah cukup untuk membiayai pendidikan sarjananya.
Stasiun tujuanku terdengar di pengeras suara. Aku menoleh ke arah Alca, menatapnya terakhir kali sebelum aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku harus turun. Stasiun tujuannya memang masih empat stasiun setelahku.
“Hati-hati. Perhatikan langkahmu karena takkan ada aku untuk menangkapmu jika kau tersandung.” Alca tersenyum usil.
Aku menatapnya sinis dengan bercanda, namun segera tergantikan dengan sebuah senyuman. “Kau juga.”
Kereta melambatkan lajunya dan aku dengan cukup susah payah melewati orang-orang untuk sampai ke depan pintu bersama Alca yang mengikutiku. Pintu berdesis pelan, terbuka, dan aku melompat turun. Kulemparkan pandangan ke Alca yang sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Aku tertawa kecil, masih berdiri di sana sampai pintu menutup dan kereta kembali melaju dengan sepasang bola mata itu yang masih dengan teduhnya memandangku.
//
Salah satu alasan mengapa aku tak bisa bertemu Alca hari itu juga karena Val hanya ingin menaiki gerbong wanita. Yang sudah pasti Alca takkan berada di sana. Namun rupanya aku memang membutuhkan pembicaraan ini. Tugas kelompok yang harus dikumpulkan dalam 4 hari terdiri dari melakukan sedikit penelitian dan membuat makalah. Sebagai anggota yang sedikit lebih memiliki jiwa kepemimpinan, aku dan Val memutuskan untuk membicarakan pembagian tugas untuk kelompok kami dalam perjalanan pulang, untung saja karena kami sama-sama menaiki kereta walaupun Val harus turun lebih dulu. Selain itu dengan beruntungnya kami mendapatkan tempat duduk di gerbong yang biasanya penuh ini, sehingga aku bisa lebih beristirahat sejenak.
“Baiklah Sha, kita lanjutkan di grup chat dengan anggota yang lain nanti malam.” Kata Val sebelum ia turun.
“Oke.” Aku mengangguk sambil menatap punggungnya yang menghilang di keramaian.
Seorang wanita mengambil tempat duduk kosong di sampingku yang tadinya diduduki Val. Aku memperbaiki posisi duduk agar bisa menyenderkan kepala di kaca jendela. Rasa kantuk begitu cepat menghampiriku dan dengan tanpa perlawanan aku memejamkan mata. Mungkin tidur sebentar bukan masalah kan? Lagi pula stasiun tujuanku masih jauh.
Namun aku salah. Mendapatkan tempat duduk kosong mungkin adalah suatu hal paling tidak beruntung hari itu. Kepalaku mengayun pelan dan aku tersentak bangun saat pengeras suara pengumuman terdengar menyebutkan nama stasiun yang sama sekali bukan stasiun tujuanku. Aku mengerjapkan mata dengan cepat dan menoleh ke luar jendela. Kereta kian memasuki peron, barisan penumpang yang bersiap melompat masuk ke dalam gerbong terlihat seperti sudah mengambil ancang-ancang. Mataku menyipit saat membaca papan tulisan nama stasiun, aku harus memastikan bahwa aku tidak salah mendengar. Ya benar saja, aku kelewatan stasiun tujuanku. Ini adalah stasiun dimana Alca seharusnya turun. Tanpa pikir panjang aku segera berdiri dan melangkah menuju pintu yang sudah terbuka. Dengan langkah lebar aku melompat turun. Sambil menengok ke kanan dan kiri aku melangkah ke pinggir agar tidak berada di jalannya lautan manusia yang juga turun. Mataku menatap setiap orang yang baru saja turun dan lewat di depanku, berharap menemukan sosok itu. Namun ia tak kunjung nampak padahal gerbong kereta paling belakang sudah pergi meninggalkan stasiun.
Aku menatap ujung peron, mungkin saja ia turun di ujung sana dan masih melangkah dengan pelan. Namun tetap saja Alca tak ada dimana-mana. Aku mulai berjalan menuju bagian dalam stasiun dengan gelisah. Apa mungkin aku tak melihatnya ketika ia berjalan? Aku tahu persis Alca sudah pasti satu kereta denganku, karena itu yang selalu terjadi selama ini. Waktu pulang kami serupa. Kepalaku kian menoleh ke segala arah dengan mataku yang berharap menemukan sosoknya. Aku berharap dapat bertemu dengannya agar kelebihan stasiun ini tidak begitu sia-sia.
Lonceng peringatan tanda kereta melintas terdengar dan satu kereta memasuki stasiun. Aku berlari ke depannya, mungkin Alca menaiki kereta selanjutnya. Rombongan penumpang yang turun menabrak pundakku saat mereka lewat, tak sedikit orang yang menggerutu pelan. Sesuatu seperti apa orang ini gila? berdiri di tengah jalan, menghalangi saja! Namun aku tidak peduli dan tetap berdiri di sana, masih berharap Alca muncul di antara gelombang orang-orang itu dengan senyum khasnya yang memperlihatkan lesung pipi tersembunyinya yang selalu membuatku ingin menusukkan jari telunjuk ke lengkungan nan dalam itu, ia akan melambaikan tangan ke arahku, mungkin sedikit terkejut saat mendapatiku berada di sana, lalu kami akan duduk sebentar di bangku stasiun dan aku akan dengan semangat menceritakan padanya mengapa aku bisa berakhir berada di stasiunnya. Tetapi lagi-lagi ia tak ada. Semua penumpang sudah turun dan pergi.
Aku menghela napas kecewa dan melangkah ke arah tembok. Sesuatu menyita perhatianku ketika sebuah selebaran kertas tertempel di sana, bagian bawahnya melambai-lambai tertiup angin. Warna putihnya yang memudar dan kekuningan, pinggirannya yang sedikit robek menunjukkan bahwa kertas itu sudah cukup lama menempel di sana. Tanganku menggapai ujung kertas yang bergerak, menekannya ke tembok untuk membaca apa yang tertera di sana. Apa yang kulihat selanjutnya membuat mataku membulat lebar dan jantungku menderu kencang memompa darah dengan cepat, membuat kepalaku sakit. Sebuah foto ada di sana dengan judul Turut Berduka Cita. Aku menelan ludah dengan susah payah. Foto lelaki yang ada di kertas itu tidak salah lagi adalah seseorang yang kukenal betul walaupun kertasnya yang lecek dan warnanya pudar. Senyum manis khasnya, lesung pipinya dan sorot teduh matanya. Napasku tercekat, kepalaku terasa berputar, mataku panas dan pandanganku mulai kabur dengan air mata yang kian menumpuk, kedua lututku lemas membuatku memegang tembok berupaya menahan tubuhku yang terasa akan tumbang dalam waktu dekat.
Nama yang tertulis di bawah foto itu memperjelas semuanya, seperti air bah yang mengguyur bendungan air mataku yang sudah penuh, semua airnya tumpah keluar. Mengalir deras tanpa henti hingga masuk ke sela-sela hatiku yang membuatnya terasa nyeri.
A L C A
Ini tidak mungkin terjadi kan? Ini pasti hanya mimpi? Aku mencabut kertas itu dengan kasar dan menatapnya lama. Berharap foto, nama dan semua huruf itu bergerak dan berubah menjadi rangkaian kata lain. Namun tidak terjadi apa-apa selain air mataku yang jatuh membuat pola basah di kertas yang sudah lusuh itu. Aku menggeleng menolak percaya, di bawah nama itu tertulis tanggal yang sama seperti hari ini namun tepat satu bulan yang lalu. Dengan cepat aku berlari ke seorang petugas yang berdiri di dekat loket hendak bertanya.
“M-maaf pak, saya ingin tahu apa arti dari kertas ini?” Suaraku parau dan nyaris tak terdengar.
Petugas itu melirik sekilas ke kertas yang hampir kuremas seutuhnya sebelum berkata. “Oh, itu adalah bocah laki-laki yang tewas tertabrak kereta bulan lalu. Teman-temannya menempelkan kertas itu sebagai pengingat. Ah mengapa petugas kebersihan bisa lupa mencopot dan membersihkannya.”
Jemariku yang mengepal gemetar hebat saat aku membenamkan kuku ke telapak tangan, mengabaikan sakitnya. “T-tewas?”
“Ya, ia tiba-tiba berlari ke arah kereta yang sedang melaju.” Petugas itu mengerutkan dahi seraya berusaha mengingat. “Dengan sengaja.”
“T-tidak mungkin.” Aku menggeleng lalu berlari menjauh meninggalkan petugas yang sekarang kebingungan.
Barisan penumpang berbaris di sepanjang peron. Aku berdiri di sana berusaha menahan air mata yang kian menetes walaupun sudah kuperintahkan agar berhenti. Kertas selebaran itu sudah sepenuhnya teremas menjadi bola di dalam kepalanku. Suara lonceng kereta berbunyi diikuti kereta yang memasuki stasiun dan berhenti di peron seberang. Pintunya terbuka, seorang wanita paruh baya dan anak muda masuk ke dalam gerbong. Gerbong nomor 8. Pintu masih belum menutup dan aku melihatnya jelas, sejelas ingatanku sebulan terakhir ini. Berdiri di sana dengan kedua tangan di dalam saku, mengayunkan tubuh pelan ke depan dan ke belakang, dengan ransel hitam yang tersampir di bahu kanan, senyum manis khasnya, lesung pipinya, sorot teduh matanya yang selalu saja sama—hangat dan penuh kebaikan. Aku terbelalak dan hendak berlari ke penyeberangan namun ia mengangkat satu tangan sambil tersenyum mengisyaratkan agar aku berhenti. Alca terlihat sehat dan nyata, seolah tak pernah terjadi apa-apa padanya. Tak kupedulikan lagi air mata yang menetes di pipi, aku berkata pelan walaupun tahu ia tak akan mendengarnya.
“Kenapa?”
Untuk seperdetik kukira kulihat senyumannya pudar namun kemudian ia tertawa kecil. Aku tetap menatapnya tanpa mengedipkan mata, takut jika saja tiba-tiba ia menghilang. Kedua matanya membentuk lengkungan bulan sabit dan lesung di pipinya menjadi semakin dalam. Bagaimana mungkin ia masih bisa tertawa seperti itu di saat aku merasa sangat merana? Ia kembali terdiam, melemparkan senyum padaku. Bibirnya terbuka dan seakan ia berada tepat di hadapanku, suaranya bergema dengan lembut dan jelas memenuhi setiap rongga tubuhku, bergetar seirama detak jantungku dan terulang-ulang di bagian terdalam otakku.
“Terima kasih, Kasha.”
Pintu berdesis pelan dan menutup namun Alca tak naik ke dalam gerbong tersebut, ia tetap berdiri di tempatnya. Melalui jendela, aku menatap wajah Alca yang masih dihiasi senyuman ketika kereta melaju pelan, semakin cepat lajunya aku tak lagi dapat melihat. Dan ketika kereta sudah sepenuhnya pergi meninggalkan stasiun, sudah tak ada seorang pun yang berdiri di seberang peron.
Esok hari, berapa besar kemungkinanku menemukanmu berdiri di peron seberang?