Tanah lapang dengan rerumputan yang menguning menyambut rombongan karavan bercat merah dan biru yang sudah memudar. Rhein duduk di samping jendela, mengalihkan pandangannya saat bus karavan berhenti tepat di tengah lapangan. Lapangan yang akan menjadi rumahnya selama 2 minggu ke depan.
“Hey jangan melamun! Bantu aku mengeluarkan perlengkapan!” Axel, bocah laki-laki berambut keemasan yang adalah salah satu pelempar pisau terbaik, yang juga teman dekat Rhein, berdiri di samping pintu menatapnya sambil menyeringai.
Sedangkan Rhein hanya diam memandang Axel yang melompat turun dengan semangat.
Membosankan. Itulah yang akhir-akhir ini ada di pikiran Rhein. Kehidupan sirkus yang ia jalani sejak berumur 12 tahun membuatnya menjadi bom waktu. Ia sendiri tidak yakin mengapa Zorro bisa memilihnya sebagai anggota sirkusnya. Meyakinkannya dengan ajakan seperti, kebersamaan, keluarga baru, kebebasan dan segala sesuatu yang ajaib.
Ia merindukan keluarganya, keluarga yang tidak pernah ia miliki. Tumbuh di sebuah panti asuhan dengan puluhan anak lainnya tanpa orang tua terasa seperti berada di dalam penjara. Pengasuh yang kasar dan anak-anak yang sama kasarnya. Rhein ingat bagaimana rasanya kelaparan saat jatah makanan yang dibagikan sudah habis oleh anak-anak rakus yang berbadan lebih besar. Terjaga pada malam hari, berbaring di ruangan dengan belasan anak lainnya. Memandang langit-langit dan tak henti berharap malaikat datang menembusnya membawanya pergi dari tempat itu. Ia ingat merangkak di tanah pada malam gelap gulita bersama beberapa anak lainnya menuju pagar sebelah barat gedung asrama, mencoba kabur dan pergi. Dan bagaimana perihnya lidi-lidi kayu yang menyentuh kulitnya berkali-kali setelah pengawas memergoki mereka.
Hingga hari itu datang, bak pelangi yang timbul setelah badai besar. Seorang pria muda tegap dengan jas hitam panjang dan topi yang serasi melangkah masuk ke dalam gedung asrama. Melihat sekeliling, menatap setiap anak dengan seksama. Rhein ingat saat pria itu menatapnya, tegas, lembut dan aneh disaat yang bersamaan.
Pembina panti asuhan dengan senang hati melepaskan Rhein dan 3 orang anak lainnya saat pria itu mengatakan akan mengadopsi mereka. Dan sejak itu Rhein merasa Zorro adalah penyelamatnya, sampai ia menyadari bahwa sirkus tidak jauh berbeda dengan kehidupannya di panti asuhan. Menjadi yang paling muda membuat Rhein sering diremehkan. Meninggalkan bekas luka secara fisik dan mental. Zorro tidak segan-segan menelantarkan anak yang tidak memperlihatkan kemajuan dalam sirkusnya, yang hanya menambah beban. Rhein harus melihat dua orang temannya dibuang karena gagal saat melakukan sebuah trik. Jadilah berguna atau kau keluar, Itu yang selalu Zorro katakan.
Pernah suatu malam Rhein membujuk Axel agar mau melarikan diri bersamanya. Tapi Axel segera menghentikannya. “Apa kau gila? Aku tidak ingin mencoba kabur lagi. Apa yang menurutmu akan terjadi pada kita kalau tertangkap? Kau mau menjadi makan malam singa?”
Maka sejak itu Rhein berpikir di dunia yang keras dan penuh dengan individualitas, ia memilih untuk mempertahankan tempatnya di sirkus milik Zorro. Hingga ia bisa menemukan sayap yang akan membawanya pergi.
//
Hiruk pikuk anggota sirkus yang mempersiapkan pertunjukan malam itu membuat Rhein merasa tercekat. Jemarinya meraih syal abu-abu tipis yang terasa seakan mencekik lehernya.
“Hey nak.” Sebuah tangan menyentuh pundaknnya saat ia sedang menatap kursi penonton yang mulai terisi penuh.
Rhein menoleh dan mendapati Zorro yang sedang berdiri di sampingnya. “Ada apa? Tidak bersemangat seperti biasanya?”
Sambil melangkah mundur Rhein tersenyum. “Ah tak apa, hanya sedang memikirkan beberapa trik baru.”
Zorro terdiam lalu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Kurasa kau kelelahan? Sudah seperti ini sejak beberapa minggu yang lalu.”
“Apa kau lupa? Tali itu adalah hidupmu! Tempatmu! Jadi bebaskanlah dirimu, ekspresikan. Maka kau akan merasakan kedamaian.” Ia melanjutkan.
Melihat Rhein yang hanya terdiam, Zorro menepuk pundaknya sambil melangkah pergi. “Oke? Semangatlah!”
Rhein menatap tali tebal yang melintang di langit-langit tenda. Tak lama ia tersenyum kecil.
“Benar, tali itu adalah hidupku. Tali itu akan membebaskan.” Dengan itu Rhein segera berlari menuju ujung jaring pengaman yang berfungsi sebagai penangkap seandainya ia jatuh.
Senyumnya seakan mencapai telinga saat ia melihat simpul yang terikat erat di bawah tangga.
//
Tepuk tangan dan sorakan ramai memenuhi seluruh tenda. Bahkan mungkin terdengar sampai ke luar.
Berada 30 meter di udara adalah hal yang biasa bagi Rhein. Ia terlihat tenang saat melangkahkan kaki kanannya di seutas tali itu. Kedua tangannya memegang sebuah stik panjang untuk menjaga keseimbangan.
Ketegangan penonton terasa saat Rhein sudah mulai berada di tengah-tengah. Lalu dengan sekali lompat ia berputar menghadap ke arah ia datang. Suara penonton yang kaget dan kagum serentak menggema. Kemudian Rhein melompat berputar sekali lagi.
Ia menyadari Zorro yang berdiri di pinggir bangku penonton, di sebelah tirai besar merah tua. Ia melipat kedua tangannya di dada, bibirnya terkatup rapat, sebelah alisnya naik.
Jantung Rhein berdegup kencang. Ia menyeringai. “Ya, tak ada trik baru.”
Ia kemudian melemparkan pandangan ke seluruh ruangan. Menatapnya untuk yang terakhir. Lalu ia melempar stik panjangnya hingga jatuh ke bawah dan patah menjadi dua.
“Bebaskan aku.”
Dengan mata tertutup Rhein berbisik dan merasakan gravitasi menariknya seakan tubunya terbang melesat.
Hal terakhir yang ia dengar adaah suara seuatu yang patah dan jeritan-jeritan yang memekakkan telinga.
Kemudian gelap.
“Hey jangan melamun! Bantu aku mengeluarkan perlengkapan!” Axel, bocah laki-laki berambut keemasan yang adalah salah satu pelempar pisau terbaik, yang juga teman dekat Rhein, berdiri di samping pintu menatapnya sambil menyeringai.
Sedangkan Rhein hanya diam memandang Axel yang melompat turun dengan semangat.
Membosankan. Itulah yang akhir-akhir ini ada di pikiran Rhein. Kehidupan sirkus yang ia jalani sejak berumur 12 tahun membuatnya menjadi bom waktu. Ia sendiri tidak yakin mengapa Zorro bisa memilihnya sebagai anggota sirkusnya. Meyakinkannya dengan ajakan seperti, kebersamaan, keluarga baru, kebebasan dan segala sesuatu yang ajaib.
Ia merindukan keluarganya, keluarga yang tidak pernah ia miliki. Tumbuh di sebuah panti asuhan dengan puluhan anak lainnya tanpa orang tua terasa seperti berada di dalam penjara. Pengasuh yang kasar dan anak-anak yang sama kasarnya. Rhein ingat bagaimana rasanya kelaparan saat jatah makanan yang dibagikan sudah habis oleh anak-anak rakus yang berbadan lebih besar. Terjaga pada malam hari, berbaring di ruangan dengan belasan anak lainnya. Memandang langit-langit dan tak henti berharap malaikat datang menembusnya membawanya pergi dari tempat itu. Ia ingat merangkak di tanah pada malam gelap gulita bersama beberapa anak lainnya menuju pagar sebelah barat gedung asrama, mencoba kabur dan pergi. Dan bagaimana perihnya lidi-lidi kayu yang menyentuh kulitnya berkali-kali setelah pengawas memergoki mereka.
Hingga hari itu datang, bak pelangi yang timbul setelah badai besar. Seorang pria muda tegap dengan jas hitam panjang dan topi yang serasi melangkah masuk ke dalam gedung asrama. Melihat sekeliling, menatap setiap anak dengan seksama. Rhein ingat saat pria itu menatapnya, tegas, lembut dan aneh disaat yang bersamaan.
Pembina panti asuhan dengan senang hati melepaskan Rhein dan 3 orang anak lainnya saat pria itu mengatakan akan mengadopsi mereka. Dan sejak itu Rhein merasa Zorro adalah penyelamatnya, sampai ia menyadari bahwa sirkus tidak jauh berbeda dengan kehidupannya di panti asuhan. Menjadi yang paling muda membuat Rhein sering diremehkan. Meninggalkan bekas luka secara fisik dan mental. Zorro tidak segan-segan menelantarkan anak yang tidak memperlihatkan kemajuan dalam sirkusnya, yang hanya menambah beban. Rhein harus melihat dua orang temannya dibuang karena gagal saat melakukan sebuah trik. Jadilah berguna atau kau keluar, Itu yang selalu Zorro katakan.
Pernah suatu malam Rhein membujuk Axel agar mau melarikan diri bersamanya. Tapi Axel segera menghentikannya. “Apa kau gila? Aku tidak ingin mencoba kabur lagi. Apa yang menurutmu akan terjadi pada kita kalau tertangkap? Kau mau menjadi makan malam singa?”
Maka sejak itu Rhein berpikir di dunia yang keras dan penuh dengan individualitas, ia memilih untuk mempertahankan tempatnya di sirkus milik Zorro. Hingga ia bisa menemukan sayap yang akan membawanya pergi.
//
Hiruk pikuk anggota sirkus yang mempersiapkan pertunjukan malam itu membuat Rhein merasa tercekat. Jemarinya meraih syal abu-abu tipis yang terasa seakan mencekik lehernya.
“Hey nak.” Sebuah tangan menyentuh pundaknnya saat ia sedang menatap kursi penonton yang mulai terisi penuh.
Rhein menoleh dan mendapati Zorro yang sedang berdiri di sampingnya. “Ada apa? Tidak bersemangat seperti biasanya?”
Sambil melangkah mundur Rhein tersenyum. “Ah tak apa, hanya sedang memikirkan beberapa trik baru.”
Zorro terdiam lalu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Kurasa kau kelelahan? Sudah seperti ini sejak beberapa minggu yang lalu.”
“Apa kau lupa? Tali itu adalah hidupmu! Tempatmu! Jadi bebaskanlah dirimu, ekspresikan. Maka kau akan merasakan kedamaian.” Ia melanjutkan.
Melihat Rhein yang hanya terdiam, Zorro menepuk pundaknya sambil melangkah pergi. “Oke? Semangatlah!”
Rhein menatap tali tebal yang melintang di langit-langit tenda. Tak lama ia tersenyum kecil.
“Benar, tali itu adalah hidupku. Tali itu akan membebaskan.” Dengan itu Rhein segera berlari menuju ujung jaring pengaman yang berfungsi sebagai penangkap seandainya ia jatuh.
Senyumnya seakan mencapai telinga saat ia melihat simpul yang terikat erat di bawah tangga.
//
Tepuk tangan dan sorakan ramai memenuhi seluruh tenda. Bahkan mungkin terdengar sampai ke luar.
Berada 30 meter di udara adalah hal yang biasa bagi Rhein. Ia terlihat tenang saat melangkahkan kaki kanannya di seutas tali itu. Kedua tangannya memegang sebuah stik panjang untuk menjaga keseimbangan.
Ketegangan penonton terasa saat Rhein sudah mulai berada di tengah-tengah. Lalu dengan sekali lompat ia berputar menghadap ke arah ia datang. Suara penonton yang kaget dan kagum serentak menggema. Kemudian Rhein melompat berputar sekali lagi.
Ia menyadari Zorro yang berdiri di pinggir bangku penonton, di sebelah tirai besar merah tua. Ia melipat kedua tangannya di dada, bibirnya terkatup rapat, sebelah alisnya naik.
Jantung Rhein berdegup kencang. Ia menyeringai. “Ya, tak ada trik baru.”
Ia kemudian melemparkan pandangan ke seluruh ruangan. Menatapnya untuk yang terakhir. Lalu ia melempar stik panjangnya hingga jatuh ke bawah dan patah menjadi dua.
“Bebaskan aku.”
Dengan mata tertutup Rhein berbisik dan merasakan gravitasi menariknya seakan tubunya terbang melesat.
Hal terakhir yang ia dengar adaah suara seuatu yang patah dan jeritan-jeritan yang memekakkan telinga.
Kemudian gelap.