“Gio datang semalam.”
Kai menghela napas panjang dan menghempaskan diri ke sofa setelah mendengar perkataan Alta. Kepalanya berdenyut, sakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terlalu banyak kafein atau alkohol yang mengalir di tubuhnya.
“Lebammu karena dia?” Kai menatap lingkaran biru di mata Alta dan merasakan jemarinya berkedut nyeri. “Harusnya kau pukul balik. Hajar saja sampai mampus.”
Alta tertawa sambil meringis. “Bisa saja. Tapi mana mungkin aku menghajarnya? Bisa babak belur kau nanti.”
//
Kebisingan musik dan irama bergemuruh di kepalanya. Gio menatap gemerlap cahaya menari di pantulan cairan dalam gelas sebelum menenggaknya. Jemarinya yang terkepal masih berkedut nyeri dan ia berharap Alta membalas tinjunya malam itu. Walaupun ia tahu Kai adalah teman yang terlalu berharga bagi Alta.
Keramaian selalu menjadi pelipur lara bagi Gio. Disapa, disenyumi, atau sekedar ditatap, membuat Gio merasa tenang.
Bahwa mereka tahu keberadaannya.
Bahwa ia tahu dirinya ada.
//
Bulan menggantung di langit malam yang kelam. Udara yang lembab membuat Kai merasa tercekat walaupun ia sudah melonggarkan dasinya.
“Gio?”
Kai terkesiap saat seorang wanita dalam balutan gaun merah menepuk lengannya.
“Maaf sepertinya anda salah orang.”
“Gio, kau lupa aku?”
“Aku bukan Gio. Dia.. dia saudara kembarku.”
Kai menelan ludah dan segera berlari pergi. Jantungnya berdetak tak terkendali dan tangannya masuk ke dalam kantung jaketnya, mencari sebuah botol putih kecil. Ia menyumpah serapahi Gio, berapa banyak lagi wanita yang akan mengenalinya di jalan dan mengira dirinya Gio? Berapa lama lagi ia harus menggunakan alasan yang sama itu untuk menghindar?
Temui dokter, Alta berulang kali berkata padanya. Kepribadian ganda bukanlah sesuatu yang bisa kau selesaikan sendiri.
//
02:00 dini hari.
26 panggilan tak terjawab dan 38 pesan.
Gio menatap layar ponselnya yang bergetar di lantai semen dan melihat nama Alta tertera di layar. Keinginannya untuk mematikan ponsel terkalahkan oleh perasaan ingin diakui setiap ponselnya berbunyi, mengindikasikan ada yang mencarinya, ingin berbicara dengannya.
Di samping kakinya, beberapa botol putih berisi obat tidur tergeletak dengan isi yang berceceran. Gio bertanya-tanya mengapa kota saat malam terlihat lebih indah dari atas situ. Angin kencang terasa seperti tangan-tangan yang menampar wajahnya berusaha membuatnya bangun dari sebuah mimpi. Ia menatap ke bawah, kendaraan berlalu lalang. Udara sekitar membuatnya seakan tercekik, jemarinya menggenggam jeruji pagar lebih erat.
Gio menoleh ke kanan. Di pantulan dinding kaca hanya wajah Kai yang ia lihat. Mata bulat hitam legam balik menatapnya. Gio berharap dapat melihatnya lebih lama lagi. Namun kepedihan yang terpancar kian menghancurkan hatinya.
Maka ia membuang pandangan. Menatap ke depan sembari perlahan melonggarkan pegangan pada jeruji pagar.
//
Kai terbangun oleh angin dingin malam yang menampar wajahnya dengan kasar. Ia menatap banyangan Gio di kaca jendela gedung pencakar langit yang ia lewati saat tubuhnya meluncur turun. Untuk pertama kalinya, Kai ingin berterimakasih pada Gio untuk membukakan lembaran baru.
Sebuah jeritan memekakkan telinga terdengar
dan kemudian semua gelap.
Kai menghela napas panjang dan menghempaskan diri ke sofa setelah mendengar perkataan Alta. Kepalanya berdenyut, sakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Jantungnya berdegup kencang, entah karena terlalu banyak kafein atau alkohol yang mengalir di tubuhnya.
“Lebammu karena dia?” Kai menatap lingkaran biru di mata Alta dan merasakan jemarinya berkedut nyeri. “Harusnya kau pukul balik. Hajar saja sampai mampus.”
Alta tertawa sambil meringis. “Bisa saja. Tapi mana mungkin aku menghajarnya? Bisa babak belur kau nanti.”
//
Kebisingan musik dan irama bergemuruh di kepalanya. Gio menatap gemerlap cahaya menari di pantulan cairan dalam gelas sebelum menenggaknya. Jemarinya yang terkepal masih berkedut nyeri dan ia berharap Alta membalas tinjunya malam itu. Walaupun ia tahu Kai adalah teman yang terlalu berharga bagi Alta.
Keramaian selalu menjadi pelipur lara bagi Gio. Disapa, disenyumi, atau sekedar ditatap, membuat Gio merasa tenang.
Bahwa mereka tahu keberadaannya.
Bahwa ia tahu dirinya ada.
//
Bulan menggantung di langit malam yang kelam. Udara yang lembab membuat Kai merasa tercekat walaupun ia sudah melonggarkan dasinya.
“Gio?”
Kai terkesiap saat seorang wanita dalam balutan gaun merah menepuk lengannya.
“Maaf sepertinya anda salah orang.”
“Gio, kau lupa aku?”
“Aku bukan Gio. Dia.. dia saudara kembarku.”
Kai menelan ludah dan segera berlari pergi. Jantungnya berdetak tak terkendali dan tangannya masuk ke dalam kantung jaketnya, mencari sebuah botol putih kecil. Ia menyumpah serapahi Gio, berapa banyak lagi wanita yang akan mengenalinya di jalan dan mengira dirinya Gio? Berapa lama lagi ia harus menggunakan alasan yang sama itu untuk menghindar?
Temui dokter, Alta berulang kali berkata padanya. Kepribadian ganda bukanlah sesuatu yang bisa kau selesaikan sendiri.
//
02:00 dini hari.
26 panggilan tak terjawab dan 38 pesan.
Gio menatap layar ponselnya yang bergetar di lantai semen dan melihat nama Alta tertera di layar. Keinginannya untuk mematikan ponsel terkalahkan oleh perasaan ingin diakui setiap ponselnya berbunyi, mengindikasikan ada yang mencarinya, ingin berbicara dengannya.
Di samping kakinya, beberapa botol putih berisi obat tidur tergeletak dengan isi yang berceceran. Gio bertanya-tanya mengapa kota saat malam terlihat lebih indah dari atas situ. Angin kencang terasa seperti tangan-tangan yang menampar wajahnya berusaha membuatnya bangun dari sebuah mimpi. Ia menatap ke bawah, kendaraan berlalu lalang. Udara sekitar membuatnya seakan tercekik, jemarinya menggenggam jeruji pagar lebih erat.
Gio menoleh ke kanan. Di pantulan dinding kaca hanya wajah Kai yang ia lihat. Mata bulat hitam legam balik menatapnya. Gio berharap dapat melihatnya lebih lama lagi. Namun kepedihan yang terpancar kian menghancurkan hatinya.
Maka ia membuang pandangan. Menatap ke depan sembari perlahan melonggarkan pegangan pada jeruji pagar.
//
Kai terbangun oleh angin dingin malam yang menampar wajahnya dengan kasar. Ia menatap banyangan Gio di kaca jendela gedung pencakar langit yang ia lewati saat tubuhnya meluncur turun. Untuk pertama kalinya, Kai ingin berterimakasih pada Gio untuk membukakan lembaran baru.
Sebuah jeritan memekakkan telinga terdengar
dan kemudian semua gelap.